PBB: Efek Konflik Persulit Penanganan Covid-19
Font: Ukuran: - +
Foto: EPA-EFE/Yahya Arhab
DIALEKSIS.COM | Dunia - Walaupun PBB sudah meminta gencatan senjata global untuk mengatasi pandemi Covid-19, tapi banyak konflik seperti di Suriah, Yaman, dan Kongo yang tak pernah berhenti dan muncul konflik-konflik baru. Pernyataan ini diungkapkan Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) Mark Lowcock.
Lowcock mengatakan, konflik mempersulit upaya mengendalikan penyebaran virus dan merawat orang yang terinfeksi. Dalam pertemuan Dewan Keamanan yang digelar virtual, Lowcock menegaskan keterkaitan antara konflik, Covid-19, dan sistem kesehatan.
Saat pandemi baru mulai pada Maret 2020, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak seluruh dunia 'mengurung konflik bersenjata dan bersama-sama fokus pada pertarungan sebenarnya untuk nyawa kita' menghadapi 'lawan bersama yakni Covid-19'. Lowcock mengatakan, meski ada sejumlah respons positif tapi konflik-konflik mematikan terus berlanjut.
Ia mengatakan, pada 2020 konflik di beberapa negara seperti di Ethiophia, Mozambik, dan konflik antara Armenia dan Azerbaijan, menambah jumlah orang yang terpaksa mengungsi. Lowcock menjelaskan, konflik mempersulit upaya humanitarian.
"Pada saat yang sama, ketidakamanan, sanksi-sanksi, kebijakan kontra-terorisme, dan rintangan administratif menghalangi operasi humanitarian," katanya, Rabu (26/5).
Ia mengatakan, pandemi membuat pengiriman bantuan semakin sulit karena penerbangan ditunda, perbatasan ditutup, dan banyak negara yang menerapkan kebijakan karantina nasional. Lowcock mencatat 'sejumlah laporan kekejian' terhadap warga sipil dalam konflik selama pandemi.
Lowcock mencontohkan lusinan siswi sekolah dan warga sipil yang tewas dan terluka dalam serangan di sebuah sekolah menengah atas di Afghanistan pada awal bulan ini dan laporan pemerkosaan dan pembunuhan massal di Tigray, Ethiopia. Serta konflik Israel-Palestina yang berakhir tapi telah menewaskan 200 orang lebih rakyat Palestina.
Ia menambahkan, selama pandemi tahun lalu ancaman kelaparan meningkat kembali. Terutama di utara Nigeria, sebagian wilayah Sahel Afrika, Sudan Selatan dan Yaman, daerah-daerah yang dilanda konflik.
"Pada akhir 2020, konflik mendorong hampir 100 juta orang menghadapi krisis atau tingkat kelangkaan makanan akut, naik 77 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya," tambah Lowcock.