Dalam Sepekan Harga Minyak Melemah, Penyebabnya?
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi kenaikan harga mintak dunia. Foto: Liputan6.com/Andri Wiranuari
DIALEKSIS.COM | Dunia - Harga minyak mentah pada pekan ini terpantau merana, karena investor khawatir terhadap permintaan minyak global menyusul lemahnya data dari Amerika Serikat (AS) dan Asia.
Sepanjang pekan ini, harga minyak kontrak jenis Brent ambles 1,01% secara point-to-point (ptp). Sedangkan untuk minyak kontrak jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) ambruk 1,66% pekan ini.
Namun pada perdagangan Jumat (17/11/2023) akhir pekan ini, harga minyak terpantau rebound, dengan Brent melonjak 4,12% ke US$ 80,61 per barel, sedangkan jenis WTI melesat 4,1% ke posisi US$ 75,89 per barel.
Harga Minyak Dunia (US$/Barel)
Rebound-nya harga minyak mentah di perdagangan akhir pekan ini terjadi karena investor yang mengambil posisi short mengambil keuntungan dan sementara sanksi AS terhadap beberapa perusahaan pengirim minyak Rusia memberikan dukungan.
Beberapa kerugian dikompensasi setelah AS memberlakukan sanksi pada minggu ini terhadap perusahaan maritim dan kapal yang mengirimkan minyak Rusia yang dijual di atas batas harga negara G7.
Meski berhasil rebound, tetapi harga minyak sepanjang pekan ini cenderung lesu karena sebagian besar terbebani oleh peningkatan persediaan minyak mentah AS dan rekor produksi yang tinggi.
OPEC dan Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan terbatasnya pasokan pada kuartal keempat, namun data AS pada hari Rabu menunjukkan persediaan berlimpah.
Dalam perkembangan lain,perkiraan perlambatan produksi kilang minyak China juga membuat investor terdiam. Produksi minyak berkurang pada Oktober dari nilai tertinggi bulan sebelumnya karena melemahnya permintaan bahan bakar industri dan menyempitnya margin penyulingan.
Namun, aktivitas ekonomi China tetap meningkat pada bulan Oktober karenaoutputindustri meningkat lebih cepat dan pertumbuhan penjualan ritel melampaui ekspektasi.
Akan tetapi masalah lain datang, ketika konflik Israel-Hamas tampaknya meningkat di Gaza, para pejabat AS pada Rabu mengatakan mereka akan menerapkan sanksi minyak terhadap Iran, yang telah lama menjadi pendukung Hamas.
Di lain sisi, melandainya data inflasi dan mendinginnya data tenaga kerja di AS serta juga membaiknya sentimen pasar di Asia seharusnya menjadi penopang harga minyak pada pekan ini.
Seperti diketahui, inflasi AS melandai ke 3,2% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Oktober 2023, dari 3,7% (yoy) pada September 2023.
Melandainya inflasi diikuti dengan melemahnya sejumlah indikator ekonomi lainnya mulai dari indeks harga produsen (PPI), penjualan ritel, hingga naikya klaim pengangguran.
Indeks harga produsen AS terkontraksi 0,5% (month-to-month/mtm) pada Oktober 2023. Kontraksi ini adalah yang pertama sejak Mei dan terbesar sejak April 2020. Secara tahunan (yoy), harga produsen naik 1,3% dari Oktober 2022, melandai dari 2,2% pada September 2023 dan menjadi kenaikan terkecil sejak Juli.
Data penjualan ritel AS juga menunjukkan tren pelemahan. Secara bulanan (mtm), penjualan ritel AS terkontraksi 0,1% pada Oktober 2023, menjadi kontraksi pertama dalam tujuh bulan terakhir.
Secara tahunan, penjualan ritel juga melandai menjadi 2,5% pada Oktober 2023, terendah dalam empat bulan terakhir.
Pengajuan tunjangan pengangguran naik 13.000 menjadi 231.000 untuk pekan yang berakhir 11 November, Departemen Tenaga Kerja melaporkan pada Rabu waktu Indonesia. Angka tersebut merupakan tertinggi dalam tiga bulan.
Data-data tersebut semakin menegaskan jika inflasi AS memang sudah mendingin sehingga membawa harapan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan segera melunak.
PerangkatCME FedWatch tool menunjukkan 100% pelaku pasar melihat The Fed masih akan menahan suku bunga pada Desember mendatang. Artinya, hingga akhir tahun suku bunga masih berada di level 5,25-5,50%. [cnbcindonesia]