DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jam dinding menunjukkan pukul 23.48 WIB. Di sudut sebuah ruangan kantor pemerintah yang sunyi di Banda Aceh, seorang pria paruh baya masih menatap layar komputer dengan penuh konsentrasi. Jari-jemarinya lincah menari di atas keyboard, sementara matanya memelototi angka-angka di lembar kerja Excel. Setiap sel berisi nominal, setiap rupiah harus tepat penempatannya.
“Salah angka satu rupiah saja, habis kita, Bang. Imbasnya bisa berantakan kegiatan tahun depan,” ujar Chandra (bukan nama sebenarnya).
Ia bukan pegawai negeri. Ia bukan PPPK. Ia hanyalah seorang tenaga honorer, atau yang kini lebih halus disebut sebagai non-ASN. Kepada media ini, Rabu, 4 Juni 2025, Chandra menyampaikan keluh kesah dan kegelisahannya tentang status yang disandangnya saat ini, berikut asa yang terus ia gantung tepat 5 cm di depan matanya.
Sudah lebih dari 11 tahun Candra bekerja di salah satu instansi di lingkungan Pemerintah Aceh. Ia tak hanya tahu seluk-beluk teknis pekerjaannya, tapi juga memahami kultur birokrasi yang kadang lebih rumit dari hitung-hitungan anggaran.
Namun pengabdian panjang itu seolah tak ada artinya ketika hasil seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) diumumkan. Nama Candra tak tercantum di antara para pelamar yang dinyatakan lulus.
Ketika pemerintah menggulirkan rekrutmen PPPK sebagai solusi bagi jutaan honorer di Indonesia, banyak yang sempat menggantungkan harapan besar. Candra termasuk di antaranya. Ini dianggap sebagai “kesempatan emas” untuk keluar dari bayang-bayang ketidakpastian yang selama ini menyelimuti status honorer.
“Waktu itu saya berpikir, mungkin inilah saatnya. Akhirnya ada pengakuan resmi setelah bertahun-tahun,” kata laki-laki beranak tiga ini.
Tapi harapan itu sirna setelah melihat hasil seleksi. Ia kalah bersaing dalam ujian berbasis CAT (Computer Assisted Test) yang menjadi sistem utama dalam seleksi PPPK. Di sisi lain, ia menyaksikan sejumlah peserta lainnya yang masih berusia muda dan belum lama bekerja di pemerintahan, bersorak girang saat mengetahui diri mereka lulus seleksi dan kini berstatus setara dengan PNS.
“Saya tidak menuduh mereka tidak layak. Tapi sistem ini seperti menutup mata pada pengalaman kerja kami yang sudah belasan tahun,” kata Candra lirih. Sebuah kalimat yang cukup menggambarkan bagaimana loyalitas, jam kerja, dedikasi bahkan pengorbanan seorang 'pegawai kelas dua' yang tak pernah dihargai. Sebuah ironi yang tak bertepi.
Kisah Candra bukan satu-satunya. Di seluruh Aceh, ribuan tenaga honorer lainnya menghadapi situasi serupa. Mereka mengisi kekosongan tenaga di instansi pemerintah, mengerjakan tugas-tugas vital dari pagi hingga malam, tapi tak memiliki status yang pasti.
Banyak dari mereka digaji di bawah UMR, tanpa jaminan kesehatan memadai, dan tanpa kejelasan karier. Meski begitu, roda birokrasi tetap berjalan--karena ada mereka.
“Kami ini ibaratnya seperti bayangan. Selalu ada, tapi tak pernah dianggap nyata,” ucap Candra sembari tersenyum getir.
Ia bercerita tentang malam-malam lembur, tentang saat harus tetap bekerja meski anaknya sedang sakit, atau ditengah beban pikiran yang hinggap soal beras yang telah menipis.
"Konon lagi kalau awal tahun bang, duh tuhan. Abang tahu sendiri lah, proses politik antara legislatif dan eksekutif saat pengesahan anggaran membuat palu dewan itu lama diketok, dan membuat gaji kami juga turut tersendat. Makan indomie yang dicampur sedikit saus Dena menjadi lauk setia aku dan anak-anakku ketika bulan Januari hingga Maret bang," terang Candra sembari tertawa.
Bagi Candra, persoalan utamanya bukan hanya tentang tidak lulus tes, tapi soal keadilan. Sistem seleksi PPPK dinilai terlalu menitikberatkan pada kemampuan teknis sesaat dalam tes, tanpa mempertimbangkan rekam jejak kerja atau lama pengabdian.
“Kalau sistem ini terus diterapkan tanpa revisi, maka honorer yang sudah lama kerja akan terus tersisih. Kami yang tahu medan, yang sudah loyal, akan tergantikan oleh mereka yang hanya unggul secara akademik,” katanya.
Ia juga mempertanyakan mengapa tidak ada afirmasi atau pengakuan formal terhadap masa kerja yang panjang. Padahal, kata Candra, itu adalah bentuk kontribusi riil yang mestinya dihargai.
Meski kecewa, Candra tetap datang ke kantor setiap hari. Ia tak ingin pekerjaannya terbengkalai. Tapi rasa lelah kini bukan hanya soal fisik, tapi juga emosional.
“Kadang saya duduk sendiri di meja kerja, dan bertanya dalam hati: apa lagi yang harus saya buktikan?” ujarnya.
Ia sadar, statusnya kini tak menjamin apa-apa. Rasa gundahnya semakin diperparah dengan belum adanya kejelasan regulasi yang memastikan keberlangsungan status dirinya. Ketika masa kerja honorer tak lagi diperpanjang, ia bisa saja harus pulang dengan tangan kosong-tanpa pesangon, tanpa pensiun dan tanpa ucapan terima kasih.
Meski begitu, secercah harapan tetap tersimpan. Candra berharap pemerintah benar-benar meninjau ulang sistem rekrutmen ASN, khususnya untuk tenaga honorer yang sudah lama mengabdi. Ia menginginkan mekanisme yang lebih adil, yang memberi tempat bagi mereka yang telah lama berjuang di balik meja, bukan hanya mereka yang unggul dalam tes.
“Kami bukan minta dikasihani. Kami hanya minta diakui,” katanya.
Kegundahan hati Chandra merupakan representasi apa yang sedang dirasakan oleh ribuan tekon lainnya yang tidak lulus seleksi di negeri berjuluk Serambi Mekah ini. Asa dan harapan tentang sebuah kejelasan serta kepastian status mereka masih mengambang seiring bungkamnya pihak terkait menjawab persoalan tersebut. Kepala Badan Kepegawaian Aceh (BKA), Abd. Qahar, S. Kom, MM, yang ditanyai persoalan tersebut melalui percakapan WhatsApp pada Rabu, 4 Juni 2025, memilih diam dan tak merespon pertanyaan media ini.
Dan malam itu, saat sebagian orang terlelap dalam tidur, Candra masih di mejanya. Masih menyelaraskan angka-angka, sambil menyimpan luka yang tak tampak oleh layar monitor-luka karena tak pernah benar-benar dianggap sebagai bagian dari sistem yang telah ia layani sepenuh hati.