Minggu, 21 September 2025
Beranda / Gaya Hidup / Di Balik Asap Vape: Kecanduan Nikotin, Kerusakan Paru, dan Beban Ekonomi

Di Balik Asap Vape: Kecanduan Nikotin, Kerusakan Paru, dan Beban Ekonomi

Minggu, 21 September 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn
ilustrasi asap vape. Foto: halodoc

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tren penggunaan rokok elektronik atau vape di masyarakat terus meningkat pesat. Data survei global menunjukkan jumlah pengguna vape usia ≥15 tahun di Indonesia melonjak dari sekitar 480 ribu orang pada 2011 menjadi 6,6 juta pada 2021. Vape kerap dipasarkan sebagai alternatif lebih “aman” dibanding rokok tembakau. 

Namun para ahli menegaskan bahwa anggapan itu menyesatkan vape tetap mengandung berbagai zat beracun dan adiktif yang dapat memicu kecanduan, merusak organ tubuh, hingga menyebabkan penyakit serius. 

“Rokok elektronik tidak lebih aman daripada rokok biasa. Rokok elektronik juga mengandung bahan-bahan berbahaya yang memicu ketagihan dan menyebabkan kerusakan paru hingga kanker,” ujar dr.Hendra Kurniawan,M.Sc, Sp.P spesialis, pakar pulmonologi dari Fakultas Kedokteraan Universitas Syiah Kuala, kepada Dialeksis saat dihubungi 21 September 2025. 

Hasil penelitian internasional turut mengonfirmasi dampak buruk vape, terutama bagi generasi muda. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti bahwa vape menghasilkan aerosol berisi zat toksik beberapa bersifat karsinogenik (pemicu kanker) dan lainnya meningkatkan risiko gangguan jantung serta paru-paru. 

“Rokok elektronik yang mengandung nikotin sangat membuat ketagihan dan berbahaya bagi kesehatan,” tegas Dirjen WHO Dr. Tedros Adhanom, seraya mengingatkan bahwa meskipun dampak jangka panjangnya masih dikaji, bukti terkini menunjukkan vape dapat mengganggu perkembangan otak remaja dan berdampak buruk pada janin apabila dikonsumsi ibu hamil. Paparan asap uap vape terhadap orang di sekitarnya juga menimbulkan risiko kesehatan pasif mirip dengan bahaya asap rokok konvensional.

Masih menurut penjelasan ujar dr.Hendra Kurniawan bahwa terdapat sejumlah bahan kimia berbahaya telah diidentifikasi dalam cairan dan uap vape. 

“Di antaranya terdapat nikotin dosis tinggi sebagai zat adiktif utama, senyawa karbonil seperti formaldehida (formalin) dan aldehida yang dapat memicu peradangan paru serta bersifat karsinogenik, hingga senyawa perasa diacetyl yang dikaitkan dengan kerusakan paru-paru serius (bronchiolitis obliterans atau “popcorn lung”),” jelasnya. 

Tak hanya itu disampaikan dr.Hendra Kurniawan, uap vape juga mengandung logam berat (misalnya timbal, nikel, kromium) dalam partikel halus yang bila terhirup dapat menyebabkan iritasi dan peradangan pada saluran napas, merusak jaringan paru dan jantung, serta berpotensi menimbulkan kanker. Meskipun kadar beberapa racun tersebut lebih rendah dibanding asap rokok biasa, risiko gangguan pernapasan kronis tetap ada terutama dengan penggunaan jangka panjang. 

Para dokter melaporkan kasus-kasus kerusakan paru akut akibat vape mulai bermunculan. Di Amerika Serikat, muncul penyakit baru bernama EVALI (E-cigarette or Vaping product use-Associated Lung Injury) yang dihubungkan langsung dengan penggunaan vape. Sindrom ini menyebabkan peradangan paru-paru parah yang membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit dan dapat berujung kematian. Sepanjang 2019-2020 saja, EVALI mengakibatkan sedikitnya 68 kematian dan hampir 3.000 kasus rawat inap di AS. 

Pakar mengaitkan wabah EVALI dengan paparan kombinasi bahan kimia beracun dalam cairan vape ilegal tertentu, menunjukkan bahwa konsekuensi vaping bisa terjadi secara akut dan fatal.

dr.Hendra Kurniawan menjelaskan lebih lanjut dari dampak vape tak terbatas pada paru-paru. Sistem kardiovaskular juga rentan terpengaruh. Nikotin dalam vape diketahui meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, sehingga memperberat kerja jantung dan berpotensi memicu penyakit kardiovaskular. Paparan aerosol vape turut menimbulkan respon inflamasi dalam tubuh, yang dikaitkan dengan risiko penyakit jantung koroner di kemudian hari. 

“Selain itu, kandungan partikel halus dalam uap vape dapat memasuki sirkulasi darah dan menyebabkan peradangan sistemik, meningkatkan risiko masalah pembuluh darah dan stroke. Para pengguna vape juga melaporkan gejala seperti batuk kronis, iritasi tenggorokan, sesak napas, hingga penurunan fungsi paru-paru seiring waktu,” ungkapnya.  

Dari berbagai literatur kesehatan mengungkapkan kekhawatiran, efek neuropsikologis turut diwaspadai. Nikotin pada vape tetap memiliki dampak adiktif kuat terhadap otak. Remaja yang mengonsumsi nikotin melalui vaping berisiko mengalami gangguan perkembangan otak, khususnya pada fungsi kognitif dan kontrol impuls. Kecanduan nikotin di usia muda dapat memicu masalah konsentrasi dan mood, serta gejala putus nikotin seperti cemas dan mudah marah ketika tidak vaping. 

Penelitian juga menunjukkan fenomena gateway effect: generasi muda pengguna vape hampir tiga kali lebih mungkin beralih menjadi perokok konvensional di kemudian hari dibanding yang tidak pernah vaping. Artinya, alih-alih membantu penghentian merokok, vape justru bisa menjadi pintu masuk menuju kebiasaan merokok yang memperburuk beban kesehatan masyarakat di masa depan.

Selain mengancam kesehatan, kebiasaan vaping juga berdampak pada finansial baik bagi pengguna secara pribadi maupun sistem kesehatan nasional. Menurut Fakhruddin dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala. 

“Bagi individu, biaya untuk mempertahankan hobi vape tidaklah kecil. Pengguna harus secara rutin membeli cairan isi ulang (e-liquid), mengganti pod/kartus atau koil, serta kadang memperbarui perangkat vape dan aksesorinya,” ujarnya kepada Dialeksis. 

Ia lanjut menjelaskan, pengeluaran rutin ini dapat menjadi beban finansial tersendiri, terutama bagi kalangan muda dengan pendapatan terbatas. Studi perilaku menunjukkan bahwa uang yang dihabiskan untuk vape kerap mengurangi alokasi untuk kebutuhan pokok lainnya, serupa dengan pola pada kebiasaan merokok konvensional.

Dari sisi makro menurut Fakhruddin, beban biaya kesehatan akibat penyakit terkait vaping berpotensi jauh melampaui manfaat ekonomis industri vape. Dr. Awang Darumurti dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta memperingatkan bahwa dalam 20 - 30 tahun ke depan, pengeluaran negara untuk menangani penyakit akibat vape bisa jauh lebih besar dibanding pemasukan negara dari cukai vape. Prediksi ini bukan tanpa dasar: pengalaman terhadap rokok konvensional menunjukkan biaya pengobatan penyakit (seperti kanker paru, penyakit jantung, PPOK) yang ditanggung pemerintah berkali lipat lebih tinggi daripada pendapatan cukai rokok.

Hal serupa dikhawatirkan akan terjadi dengan vape, mengingat potensi munculnya generasi muda dengan gangguan kesehatan jangka panjang akibat produk ini. 

“Meski ada pandangan cukai vape menambah pendapatan negara, tetapi risiko biaya kesehatannya di masa depan jauh lebih besar,” tegas Dr. Awang. 

Jika jutaan pengguna vape saat ini berkembang menjadi jutaan pasien dengan penyakit kronis 20 tahun mendatang, sistem jaminan kesehatan nasional (seperti BPJS Kesehatan) bisa menanggung beban berat pembiayaan perawatan.

Para pakar dan otoritas kesehatan pun menyerukan langkah pencegahan segera. WHO mendorong pemerintah di berbagai negara untuk menerapkan regulasi ketat terhadap rokok elektronik misalnya melarang penggunaan zat perasa yang menarik bagi remaja, membatasi kadar nikotin, mengenakan pajak tinggi, hingga mempertimbangkan pelarangan total jika diperlukan. 

Di Indonesia, desakan revisi regulasi (PP No.109/2012) menguat agar vape digolongkan sebagai zat adiktif yang diatur ketat seperti rokok konvensional. Langkah edukasi publik juga dinilai krusial: sosialisasi bahaya vape perlu digencarkan untuk mematahkan misinformasi bahwa vape itu aman. 

“Regulasi tanpa dibarengi edukasi akan sulit efektif. Masyarakat harus paham kebijakan ini demi kebaikan bersama, bukan sekadar melarang tanpa alasan,” ujar Dr. Awang. 

Pada akhirnya, mencegah lebih baik daripada mengobati. Para ahli sepakat bahwa menekan penggunaan vape sejak dini merupakan kunci melindungi kesehatan publik di masa depan. Tanpa upaya serius, tren vaping yang tak terkendali dapat menciptakan bom waktu masalah kesehatan baru dan beban ekonomi tinggi bagi bangsa. Kebijakan pengendalian yang tegas, didukung bukti ilmiah dan kesadaran masyarakat, diharapkan dapat membendung dampak buruk vape sebelum terlambat.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid