DIALEKSIS.COM | Kolom - Murthalamuddin, S.Pd., M.S.P. mungkin bukan sosok yang dikenal luas sebelum banjir bandang dan longsor melanda Aceh pada akhir 2025. Namun, dalam perannya sebagai Juru Bicara Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh 2025, Plt Kepala Dinas Pendidikan Aceh ini justru mencuri perhatian publik. Gaya komunikasinya yang blak-blakan, terus terang, dan berani membela para korban bencana telah membuat namanya diperbincangkan banyak orang.
Alih-alih tampil dengan bahasa birokrasi yang kaku, Murthalamuddin memilih berbicara apa adanya mengenai kondisi di lapangan, tanpa menyembunyikan masalah yang ada. Kejujuran dan keberaniannya dalam menyuarakan fakta, bahkan yang pahit sekalipun menjadikannya sosok juru bicara yang berbeda dari biasanya.
Murthalamuddin, Juru Bicara Posko Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh 2025, memberikan keterangan pers di Banda Aceh awal Desember 2025. Gaya komunikasinya yang lugas dan blak blakan mencuri perhatian publik Aceh.
Bicara Terang-terangan Demi Korban Bencana
Sejak ditunjuk langsung oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) sebagai juru bicara posko darurat bencana, Murthalamuddin tampil beda dari jubir pemerintah pada umumnya. Ia tidak sekadar membacakan angka-angka atau menyuarakan slogan “penanganan cepat” yang klise. Sebaliknya, ia justru mengakui dengan lugas berbagai kendala di lapangan. Dalam berbagai kesempatan wawancara di media, Murthalamuddin terang-terangan menyebut pemerintah bekerja lamban dan tidak menutup-nutupi ketidakmampuan pemerintah daerah menghadapi besarnya bencana.
“Kegagalan tak dipoles jadi prestasi,” ujarnya blak-blakan, seraya membenarkan bahwa hingga detik ini warga di wilayah terisolasi masih bertaruh nyawa menunggu bantuan.
Pernyataan-pernyataan Murthalamuddin kerap disampaikan dengan nada emosional sarat empati kemanusiaan, bukan sekadar bahasa administrasi formal. Kepada Dialeksis.com, misalnya, Murthalamuddin menegaskan bahwa pada tahap tanggap darurat ini fokus utama adalah penyelamatan nyawa, bukan hal-hal di luar itu. “Persoalan rumah yang tertimbun lumpur itu bukan hal yang kita bahas dulu. Saat ini fokus kita adalah menyelamatkan warga dalam situasi darurat,” tegasnya.
Ia merasa perlu bicara terus terang agar semua pihak paham betapa gentingnya situasi di lapangan. Murthalamuddin mengaku tidak gentar apabila kejujurannya dianggap tabu dalam birokrasi.
“Upaya ini adalah kerja besar bersama. Kita mohon dukungan semua pihak agar penanganan bencana berjalan cepat dan tepat,” ujarnya, mengajak seluruh elemen fokus pada aksi nyata.
Sikapnya yang apa adanya terlihat ketika ia membantah klaim-klaim yang dianggap tidak sesuai fakta. Saat pemerintah pusat menyatakan helikopter bantuan beroperasi 24 jam, Murthalamuddin langsung mengoreksi dengan tegas. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, ia menantang klaim tersebut.
“Mana helikopter itu? Jangan ngebacot kamu,” ujarnya lantang menanggapi pernyataan Staf Khusus Presiden yang mengklaim puluhan helikopter terus terbang non-stop. Ia menjelaskan kenyataan di lapangan sangat berbeda tidak ada “puluhan helikopter” seperti yang disebut; penerbangan bantuan faktanya hanya sekitar 15 - 16 kali per hari, itupun belum mampu menjangkau seluruh wilayah terdampak yang begitu luas.
Pengangkutan BBM via udara yang diklaim terjadi pun dibantahnya. Murthalamuddin menunjukkan bukti bahwa warga masih harus memanggul beras dan bahan bakar berjalan kaki puluhan kilometer akibat akses darat terputus.
“Kalau benar ada pengangkutan udara, kondisi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan daerah lain tidak akan separah ini,” ujarnya, menggambarkan beratnya kondisi wilayah-wilayah yang hingga kini terisolir.
Murthalamuddin juga tak segan meluruskan informasi pejabat tinggi yang keliru. Ketika Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melaporkan kepada Presiden bahwa 97% listrik Aceh sudah pulih, Murthalamuddin (melalui tim Pemerintah Aceh) mengklarifikasi data tersebut sebagai tidak benar. Faktanya, suplai listrik jaringan menengah di Aceh saat itu baru mencapai 60 - 70% jauh dari klaim 97% yang disampaikan Bahlil.
Ia secara terbuka menyebut klaim listrik pulih itu adalah kebohongan dan mengingatkan Presiden bahwa bawahannya telah memberi laporan tak sesuai realitas[3]. Kenyataannya, hingga usai kunjungan Presiden pun listrik masih padam di banyak kawasan Aceh, termasuk Banda Aceh dan Aceh Besar.
Murthalamuddin merasa perlu bicara jujur seperti ini demi menghindari kemarahan masyarakat terhadap petugas lapangan. “Kami berharap, atas kekeliruan yang disampaikan Menteri ESDM tersebut tidak mengakibatkan kekecewaan masyarakat terhadap petugas PLN di lapangan,” ujar juru bicara Pemerintah Aceh saat itu. Dengan kata lain, ia berusaha mencegah kesalahan informasi dari pusat memicu konflik di daerah.
Keberpihakan Murthalamuddin kepada rakyat Aceh yang menderita tercermin kuat dalam setiap pernyataannya. Ia menggambarkan bencana kali ini sebagai “darurat kemanusiaan”.
Dalam satu wawancara, ia bahkan menyindir lambannya respons seolah membuat rakyat “menunggu mati”. “Ada warga yang seharusnya cuci darah, penderita penyakit kronis lain yang tidak lagi mendapat layanan kesehatan. Mereka ini seakan dibiarkan menunggu mati,” ucapnya pilu.
Ia juga mengkritik kesiapan pemerintah dalam menyediakan hunian darurat: banyak tenda pengungsi BNPB kosong karena lokasinya tidak layak, tanpa sanitasi dan air bersih sehingga warga memilih pulang atau mendirikan tenda sendiri. Hampir semua fasilitas sanitasi dan air akhirnya justru disediakan oleh NGO kemanusiaan, ungkapnya.
Keterlambatan distribusi logistik juga tak luput dari perhatian Murthala. Ia memperingatkan bahwa lambannya penyaluran bantuan dapat memicu bencana baru seperti kelaparan massal dan lonjakan harga kebutuhan pokok. Kelompok paling rentan lansia, ibu hamil, anak-anak, hingga pasien sakit terancam karena terputus dari akses pangan dan layanan kesehatan.
Puncak dari keberanian Murthalamuddin adalah seruannya agar pemerintah pusat turun tangan lebih serius. Ia mendesak Jakarta segera mengambil alih komando penanganan dengan mengerahkan TNI, Polri dan seluruh sumber daya negara untuk “melakukan air dropping logistik melalui udara sebagai satu-satunya solusi cepat”.
Ia menegaskan bahwa dalam situasi ini bukan saatnya berdebat kewenangan atau ego sektoral. “Ini bukan lagi soal kedaulatan atau batas wilayah, ini soal kemanusiaan. Bantuan dari mana pun silakan selama bisa dikendalikan. Kami jujur sudah putus asa berharap pada pemerintah pusat,” cetusnya terus terang.
Ucapan “sudah putus asa” terhadap pemerintah pusat adalah ungkapan frustrasi yang jarang terdengar dari pejabat daerah. Murthalamuddin secara terbuka memohon agar penderitaan rakyat Aceh jangan diabaikan.
“Sayangilah kami rakyat Aceh,” ujarnya, mengingatkan pemerintah pusat agar merasakan kepedihan masyarakat di daerahnya. Ia bahkan menutup pernyataannya dengan nada getir,“Faktanya hari ini, perintah Presiden tidak berjalan di bawah,” sindirnya, menunjukkan bahwa berbagai instruksi dari pusat belum berdampak nyata di lapangan.
Dari Birokrat Pendidikan ke Garda Terdepan Bencana
Murthalamuddin sejatinya adalah seorang aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Aceh. Ia menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Aceh sejak pertengahan 2025. Latar belakang pendidikannya pun di bidang pendidikan dan perencanaan pembangunan lulusan Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dan Magister Teknik Pembangunan Kota (M.S.P.). Penugasan mendadak sebagai juru bicara posko bencana mungkin di luar kebiasaan bagi pejabat dengan latar belakang pendidikan.
Namun Gubernur Aceh Muzakir Manaf menganggap Murthalamuddin sosok yang mampu menjembatani informasi antara posko dan masyarakat luas, sehingga ia ditunjuk mengemban tugas tersebut ketika bencana hidrometeorologi melumpuhkan Aceh di akhir November 2025.
Begitu dipercaya menjadi jubir darurat bencana, Murthalamuddin segera terjun langsung menghadapi media lokal maupun nasional. Setiap hari ia memberikan update perkembangan penanganan bencana, berdiri di garis depan komunikasi krisis.
Kepada media Dialeksis.com pada 3 Desember 2025, misalnya, Murthalamuddin merinci progres pembukaan akses jalan dan distribusi bantuan. Ia menyampaikan bahwa sejumlah jalan utama yang sempat terputus sudah mulai tersambung kembali, termasuk jalur Medan - Aceh Tamiang, Aceh Tengah, hingga jalan Babahrot - Aceh Barat Daya.
“Sudah banyak wilayah yang terhubung. Kapal-kapal, termasuk kapal rumah sakit TNI, terus bergerak mengangkut persediaan,” ujarnya kala itu. Namun ia jujur mengakui distribusi bantuan masih terkendala.
“Hingga hari ini, bantuan 22 ribu ton sudah tiba di Aceh. Tapi distribusinya belum maksimal karena banyak titik masih sulit ditembus kendaraan darat,” ungkap Murthalamuddin terus terang. Pengakuan ini menunjukkan ia tidak segan membuka kekurangan penanganan, alih-alih menyembunyikannya.
Sebagai Plt Kadis Pendidikan, sebenarnya Murthalamuddin bukan figur yang biasa tampil di depan publik untuk isu kebencanaan. Namun pengalaman kepemimpinannya di birokrasi dan keterampilannya berkomunikasi ternyata sangat berguna dalam situasi darurat. Rekan-rekannya di posko menyebut Murthala demikian ia akrab disapa bekerja nyaris tanpa kenal lelah.
Di sela kesibukan mengurus pendidikan Aceh, ia membagi waktu turun ke pusat komando bencana, memimpin konferensi pers, hingga berkoordinasi dengan berbagai instansi. Murthalamuddin kerap terlihat berbaju lapangan berlumpur di lokasi terdampak, sembari memegang handy talkie berkomunikasi dengan tim di lapangan. Hal ini membuatnya benar-benar memahami kondisi korban, sehingga apa yang ia sampaikan ke publik bukan sekadar data di atas kertas, melainkan suara dari lapangan yang ia saksikan sendiri.
Kemampuan Murthalamuddin mengolah fakta menjadi pesan yang mudah dipahami juga patut diacungi jempol. Ia sering menggunakan analogi sederhana saat menjelaskan masalah. Misalnya, saat menjelaskan vitalnya jalur udara untuk suplai bantuan, ia menggambarkan stok bantuan yang menumpuk di pelabuhan, bandara, dan gudang sebagai “lumbung yang penuh namun mulutnya tersumbat”.
Maksudnya, bahan pangan dan logistik sebenarnya melimpah, tetapi tidak bisa tersalur ke perut rakyat yang kelaparan karena jalan darat putus. Dengan ilustrasi itu, publik pun memahami urgensi pengerahan helikopter secara masif. Gaya komunikasi yang komunikatif dan empatik ini membuat Murthalamuddin efektif menyampaikan pesan-pesan penting di tengah krisis.
Tentu, sikap terus terang Murthalamuddin bukan tanpa risiko. Ia menyadari betul bahwa harga dari kejujurannya bisa sangat mahal. Seorang pejabat yang berani “menggoyang” narasi pemerintah pusat bisa saja menghadapi konsekuensi politis: kehilangan jabatan atau disingkirkan oleh atasan yang tersinggung.
“Pasti ia sadar, harga kejujuran semacam ini mahal: bisa kehilangan jabatan, disingkirkan, atau jadi bulan-bulanan faksi-faksi jahat dalam kekuasaan,” tulis pengamat di media lokal. Namun hingga kini Murthalamuddin tetap konsisten pada pendiriannya. Ia menomorsatukan amanah untuk menyuarakan kondisi korban bencana.
“Dalam situasi seperti ini, kejujuran bukanlah sikap heroik. Itu bentuk paling sederhana dari keberpihakan pada kemanusiaan,” demikian katanya dalam satu kesempatan wawancara. Kalimat itu seolah menjadi prinsip yang dipegangnya: berpihak pada kemanusiaan di atas segala kepentingan lain.
Respons Publik dan Dukungan Kepada Murthala
Keberanian Murthalamuddin bersuara lantang demi rakyat jelata spontan mendapat apresiasi luas dari masyarakat Aceh. Di media sosial, namanya sontak menjadi perbincangan hangat. Banyak warganet mengekspresikan dukungan dan rasa bangga terhadap gaya komunikasinya yang tak biasa. Berikut beberapa tanggapan publik yang terekam dalam monitoring media sosial dan pemberitaan:
• Syakya Meirizal, warga Bireuen, dalam unggahannya menulis,“Untung ada Bapak ini di Pemerintah Aceh. Jubir Pos Komando Tanggap Darurat Aceh yang gaya bicaranya kiban crah meunan beukah.” Menggunakan ungkapan Aceh yang berarti kurang lebih “sangat terus terang apa adanya,” Syakya memuji Murthala yang sigap menginterupsi informasi manipulatif dari pejabat pusat. “Informasi manipulatif seakan semuanya baik-baik saja yang disampaikan Stafsus Presiden, langsung diinterupsi secara tangkas oleh beliau. Skakmat!” tulisnya, seraya menambahkan bahwa “hampir seluruh rakyat Aceh bahagia atas keberaniannya bertutur yang out of the box di hadapan petinggi negeri”. Ia pun mendoakan “sehat selalu dan terus konsisten Pak Kadis Murthala Murthalamuddin”, tanda dukungan agar Murthala tetap istiqamah membela rakyat.
• Tgk. Miswar Ibrahim Njong, Ketua Umum Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (organisasi pemuda Aceh), bahkan menuliskan sebuah opini khusus yang mengapresiasi sepak terjang Murthalamuddin. Dalam tulisannya berjudul “Jalan Pedang Seorang Murthala”, Miswar menyebut Murthala sebagai “sosok berlumpur yang gegerkan istana”. Ia memuji Murthalamuddin karena bicara terang-benderang, terlalu terang untuk ukuran birokrasi. “Ia mengakui dengan lugas ketidakberdayaan Pemerintah Aceh, tidak memoles kegagalan jadi prestasi semu,” tulis Miswar. Miswar menegaskan bahwa suara Murthala adalah gema jeritan rakyat yang terkurung banjir dan lumpur di daerah terpencil. Kejujuran Murthala, lanjutnya, bukanlah aksi heroik berlebihan melainkan wujud paling dasar dari keberpihakan pada kemanusiaan. Miswar pun berpesan, “Orang-orang seperti ini, terlepas dari kekurangan atau pandangan politiknya, jika sudah tegak di jalan kemanusiaan, jangan dibiarkan berdiri sendirian,” menyerukan agar publik dan pemangku kepentingan lainnya memberi dukungan penuh kepada Murthala.
• Beragam komentar positif lainnya bermunculan di linimasa. Banyak warganet menyebut Murthalamuddin sebagai “pahlawan komunikasi” di tengah bencana. “Berani karena benar, Pak Murthala ini,” tulis akun anonim di Twitter. Ada juga yang mengibaratkan Murthala sebagai “corong nurani Aceh” karena setiap ucapannya dirasa mencerminkan isi hati masyarakat Aceh yang terdampak. Media nasional pun tak luput menyoroti gaya bicaranya; beberapa kanal berita memberi julukan “jubir pemberani” bagi Murthalamuddin. Fenomena ini terbilang langka: seorang pejabat daerah yang dipuji publik karena berani “melawan” narasi pemerintah pusat demi membela rakyatnya.
Respons positif tersebut menunjukkan bahwa publik Aceh merasa terwakili oleh suara Murthalamuddin. Di tengah kekecewaan dan kelelahan menghadapi bencana, figur jubir posko yang berani berkata jujur memberikan secercah kelegaan. “Ini baru pemimpin, berani karena di pihak yang benar,” tulis seorang netizen, menyiratkan harapan agar lebih banyak pejabat yang meniru sikap Murthala. Dukungan moral ini barangkali pula menjadi tameng bagi Murthalamuddin dari kemungkinan tekanan politik. Selama dukungan rakyat di belakangnya, sulit bagi pihak manapun untuk mendiamkan suaranya.
Antara Tantangan Bencana dan Harapan Perubahan
Bencana banjir bandang dan tanah longsor Aceh 2025 memang bukan peristiwa biasa “ skalanya sangat besar dan dampaknya mendalam. Lebih dari 450 orang dilaporkan meninggal dunia di Aceh, dan hampir setengah juta warga terpaksa mengungsi dari rumah mereka.
Kerusakan infrastruktur juga masif terlihat nyata puluhan ribu rumah hancur, ratusan fasilitas umum, sekolah, dan jembatan rusak. Dalam situasi seberat ini, dibutuhkan komunikasi krisis yang efektif agar bantuan tersalurkan cepat dan tepat sasaran, serta kepercayaan publik tetap terjaga. Murthalamuddin hadir mengemban peran itu dengan segala dinamika dan tantangannya.
Sebagai frontliner informasi, ia menghadapi ekspektasi warga Aceh di satu sisi dan sensitivitas birokrasi di sisi lain. Namun, Murthalamuddin tampak teguh berjalan di atas garis kebenaran versi rakyat yang ia bela. Suaranya merupakan teriakan mereka yang mungkin tak terdengar hingga ke pusat kekuasaan di Jakarta.
Ketika laporan-laporan resmi menyatakan “semua terkendali”, Murthala datang membawa kabar bahwa kenyataannya jauh dari ideal. Tindakannya ini laksana membuka mata banyak pihak bahwa masih ada daerah-daerah yang butuh perhatian segera. Seorang relawan kemanusiaan di Aceh menyebut, “Apa yang disampaikan Pak Murthala membantu kami menarik dukungan lebih banyak. Orang pusat jadi tahu penderitaan kami sebenarnya,” ujarnya.
Kini, sosok Murthalamuddin menjelma simbol keberanian birokrat yang berpihak pada kemanusiaan. Publik Aceh menaruh harapan, semoga suaranya tidak sia-sia dan benar-benar ditindaklanjuti dengan kebijakan nyata. Ada indikasi positif: pasca kehebohan pernyataan Murthala di media, pemerintah pusat dikabarkan mulai menambah armada helikopter dan mempercepat bantuan ke Aceh.
Bahkan, isu krisis listrik Aceh yang sempat berlarut-larut akhirnya mendapat perhatian serius; tim tambahan PLN dari pusat dikerahkan dan Menteri ESDM menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Aceh atas lambannya pemulihan listrik. Perkembangan ini seolah mengonfirmasi bahwa kritik terbuka Murthalamuddin berhasil “menyentil” pemerintah untuk berbuat lebih sigap.
Meski demikian, tugas di lapangan masih jauh dari selesai. Murthalamuddin sendiri kerap mengingatkan semua pihak agar tidak cepat berpuas diri. Ia masih setiap hari muncul mengabarkan progres dan kendala terbaru. Jika ada kabar baik, ia sampaikan sebagai penyemangat; jika ada kabar buruk, ia tak akan menutupinya. Sikap transparan ini yang membuat masyarakat menaruh kepercayaan padanya. Kepercayaan publik adalah modal berharga dalam penanganan bencana, dan Murthalamuddin telah berhasil meraihnya.
“Saya hanya menyampaikan apa yang rakyat Aceh alami. Tidak ada niat lain kecuali agar mereka mendapat pertolongan,” ujar Murthalamuddin dalam sebuah bincang-bincang bersama Dialeksis, merendah. Di balik sorotan media, ia mengaku yang terpenting baginya adalah melihat para pengungsi tersenyum kembali dan anak-anak bisa bersekolah lagi. Perjuangannya belum usai, namun kehadiran sosok seperti Murthalamuddin membangkitkan optimisme bahwa kemanusiaan dan kejujuran masih ada di tengah birokrasi. Publik Aceh -- bahkan Indonesia -- kini tahu bahwa di posko bencana Aceh, ada seorang Murthala yang siap “pasang badan” demi rakyat kecil. Dan selama orang-orang seperti dia masih berdiri tegak, harapan itu jangan pernah padam.
Tabik, Pak Murthala! (Salute untuk keberanian dan ketulusan Anda).
Penulis: Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Lingkar Sindikasi Grub, Aryos Nivada
