Saatnya Reformasi Jilid 2
Font: Ukuran: - +
Reporter : Teuku Alfin Aulia
DIALEKSIS.COM | Kolom - Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terkait dengan Pilkada, situasi di tanah air kian memanas. Keputusan yang dianulir oleh Badan Legislasi (Banleg) DPR-RI memicu gelombang protes yang menggema di berbagai penjuru negeri.
Tanggal 21 Agustus menjadi momen penting, saat suara rakyat menggema Dimana-mana menuntut dibatalkannya pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada yang disetujui secara sepihak oleh para wakil rakyat di Gedung Senayan.
Hampir seluruh fraksi di DPR-RI menyatakan dukungannya terhadap revisi Undang-Undang tersebut, yang secara tidak langsung menganulir keputusan MK. Pada akhirnya Gelombang protes ini muncul sebagai upaya menyelamatkan proses berdemokrasi yang telah terpuruk.
Banyak pihak menilai bahwa keputusan Banleg ini berakar dari ambisi dan kepentingan koalisi besar "Indonesia Maju Plus" yang berusaha mengontrol lebih besar proses kepentingan Pilkada serentak yang akan berlansung dalam waktu dekat. Putusan MK yang menurunkan ambang threshold didalam pilkada disinyalir dapat membuat kepentingan koalisi raksasa yang sebelumnya solid menjadi pelik.
Putusan MK, yang bersifat mengikat, dinilai sangat diperlukan oleh bangsa ini, khususnya dalam konteks Pilkada kali ini. Bagaimana tidak? Keputusan tersebut muncul setelah terjadinya monopoli politik yang dilakukakan secara terang-terangan tanpa rasa malu oleh koalisi raksasa yang sangat tentu telah mengebiri aspirasi dan hak-hak demokrasi, hak-hak ini seharusnya dapat didengar melalui paparan beberapa survei-survei kredibel dan terpercaya. B
eberapa tokoh potensial non-partai, yang sebelumnya berada di posisi teratas dalam survei, terpaksa melupakan kesempatan mereka untuk dapat maju dalam Pilkada kali ini akibat dari praktik politik yang represif dan manipulatif.
Bak diakal-akali mulai dari perumusan pilkada serentak dengan alasan penghematan anggaran rakyat, hingga putusan hukum yang mengizinkan perubahan batasan usia, asal sampai umur ketika dilantik, dan banyak dari produk hukum dan kebijakan yang lahir selama ini, sangat jelas penuh dengan kecacatan dan sarat akan kepentingan. Sedikit sekali melibatkan partisipasi publik yang seharusnya menjadi pihak utama yang dilibatkan dalam proses seperti itu.
Penggelembungan koalisi tanpa memerhatikan pentingnya keberadaan oposisi dengan dalih lebih fokus membangun negara, dinilai dapat membuat kontrol rakyat terhadap kebijakan pemerintah semakin sulit dilaksanakan dewasa ini. Hal-hal seperti pasal-pasal instan yang dengan mudah dibahas dan disahkan dapat terjadi Kembali sesuai kepentingan pemegang kendali.
Praktik-praktik semacam ini tentu bukan tak melanggar hak-hak dan etika dalam berdemokrasi yang telah dibangun selama ini. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi wadah penyambung lidah rakyat yang diakui secara konstitusi didalam sistem demokrasi, tak dapat menjalankan fungsinya dengan sepenuhnya, bak tersandera kepentingan demi kepentingan keluarga tertentu. Partai politik yang harusnya menjadi basis ideologis yang mendidik malah berubah menjadi basis penyalur hasrat dan kepentingan kelompok tertentu.
Jika fungsi-fungsi vital negara malah berubah menjadi pemulus kepentingan kelompok-kelompok yang sedang berkuasa, maka dimanakah letak “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang menjadi salah satu dari sila utama berdirinya republik ini kiranya masih dapat ditaruh?
Jika Lembaga negara malah berebut fungsi demi meloloskan kepentingan pribadi dan golongan, acuh tak acuh dengan suara rakyat, maka dimanakah letak “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” kiranya masih dapat dirasakan di republik ini? Jika hukum dengan mudah dapat dipermainkan sesuai kepentingan pemegang kendali maka bagaimana negara ini masih bisa disebut negara demokratis?
Bila pilkada, pemilu, pilpres hanya menjadi kontestasi yang sepenuhnya dikendalikan dan dimainkan oleh pemangku kepentingan dan kalangan elit saja, maka apa yang rakyat bisa harapkan dari itu semua? Pemimpin idaman rakyat manakah yang akan lahir melalui proses bengis seperti ini, melainkan anak, mantu, atau bahkan cucu dari para pemangku kepentingan yang akan disodor untuk dipilih rakyat dengan penuh rasa lugu.
Intimidasi, penjegalan, bukan lagi menjadi hal yang tak biasa terdengar direpublik ini, bahkan dengan terang-terangan tanpa rasa malu disuarakan oleh tokoh-tokoh sentral yang kini sedang berada didalam pemerintahan. Menjegal pihak-pihak tertentu didalam proses berdemokrasi, hanya karena andanya rasa khawatir akan terganggu kepentingannya, merupakan sikap yang tidak fair dalam bernegara, penuh otoritarianisme dan kebar-baran serta tak memiliki moral dan etika.
Sayangnya, meski mereka mengira rakyat tak lepas sepeti kumpulan domba lemah yang meraung-meraung takut saat ditakuti oleh serigala, kondisi kezaliman layaknya saat ini dapat terus berlaku begitu saja dan dengan aman. Jutaan pasang mata rakyat jelata tak henti-hentinya memandang ke arah malpraktik kebengisan rezim yang semakin menjadi-jadi seperti saat ini. Kesabaran rakyat akan sampai pada titik puncaknya yang pada akhirnya dapat saja menimbulkan gelombang rakyat yang menjadi akhir yang mengerikan bagi rezim bengis.
Terlihat jelas bahwa ada banyak kepentingan yang berperan dalam proses bernegara saat ini termasuk dalam proses perumusan revisi Undang-Undang Pilkada saat ini. Setiap orang tentu dapat melihat secara terang-terangan dengan kedua pasang matanya setiap permainan politik yang begitu mencurigakan di balik Keputusan-keputusan yang diambil, dan kami mendesak agar semua pihak yang terlibat agar mempertimbangkan kembali tujuan utama dari demokrasi: untuk memberikan suara kepada rakyat dan memastikan keadilan bagi semua, tak ada iming-iming kekuasaan yang abadi.
Semuanya pada saatnya akan berakhir, baik buruknya itu semua. Setiap lembaran yang akan diisi hanya akan menjadi cerita, lalu layakkah kondisi seperti saat ini dimasa kepemimpinan anda dapat diceritakan kepada anak cucu anda kembali nantinya? Kecuali jika demi merekalah tujuan semata-mata dari segala perilaku yang sedang anda lakukan saat ini.[**]
Penulis: Teuku Alfin Aulia (Penerima program Beasiswa PBNU Al Azhar Mesir, Founder Halaqah Aneuk Bangsa)