Beranda / Kolom / Sindrom Batavia

Sindrom Batavia

Minggu, 09 Februari 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Penulis: Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Lingkar Sindikasi Grub


DIALEKSIS.COM | Kolom - Jakarta bukan lagi Ibu Kota Republik Indonesia. Ibu Kota RI berpindah ke Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. 

Dengan begitu, apa yang pernah disebut Hasan Tiro tentang sindrom Batavia, sudah berakhir.  

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan stasiun televisi Belanda, Hasan Tiro bertanya: “Mengapa Pusat? Apakah sindrom Batavia belum berakhir?” 

Sebelumnya, Hasan Tiro menilai gagasan tentang Infonesia bersatu tidak masuk akal. “Itu bertentangan dengan sejarah…” ujar Hasan Tiro. 

Hasan Tiro memunculkan istilah sindrom Batavia karena Belanda lah yang menjadikan Jawa sebagai Pusatnya. 

Menurut Hasan Tiro, pilihan Jawa itu karena orang Jawa dinilai tidak melawan, istilah lain tidak patriotik. 

“Itulah mengapa mereka menjadi Pusat,” simpul Hasan Tiro yang sudah berpulang 15 tahun lalu, di Aceh. 

Sebagaimana diketahui, Hasan Tiro menggelorakan perlawanan untuk mewujudkan Aceh Merdeka sejak 4 Desember 1976. 

Perang berhenti usai Pemerintah RI dan GAM melanjutkan perundingan kembali paska tsunami yang menghasilkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. 

Kedua pihak sepakat untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan (unitary state) dan konstitusi Republik Indonesia. 

Meski tawaran Hasan Tiro tengang federalisme tidak wujud, yang dinilainya lebih cocok untuk Indonesia yang berangkat dari sejarah independen masing-masing daerah/kerajaan, namun pengaruh gagasan federalisme nyata muncul di kepala politisi Indonesia. 

Wujud implementasinya memang tidak ideal federalisme seperti yang dibayangkan Hasan Tiro namun namun wujud desentralisasi. 

Setidaknya, jejak desentralisasi yang sangat signifikan terjadi pada tahun 1999 dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 

Desentralisasi dengan begitu bukan hanya sekadar pemindahan kewenangan, tetapi juga pengakuan akan kekuatan ekonomi daerah, agar setiap daerah harus memiliki kapasitas untuk mengelola ekonominya sendiri dan menentukan prioritasnya. 

Dalam konteks Aceh hadir Undang - Undang Pemerintahan Aceh yang menjadi “konstitusi” mengelola pemerintahan dan pembangunan di Aceh untuk mencapai apa yang diyakini kedua pihak yaitu pembangunan kembali Aceh dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. 

Sayangnya, akhir-akhir ini, banyak agenda Pemerintahan Pusat yang terkesan kembali ke suasana sentralisasi. Bukti terkini, kebijakan efisiensi Presiden RI yang diterjemahkan dengan pemangkasan anggaran (APBA) dilakukan tanpa konsultasi dengan Aceh. 

Begitu juga dengan Pilkada, yang semuanya bertolak dari politik seragam yang diprogram secara sentralistik, sehingga mulai dari waktu Pilkada hingga pelantikan kepala daerah yang kemudian dilanjutkan dengan rencana kegiatan reatret ditentukan secara terpusat. 

Dengan kata lain, gerak politik saat ini sepertinya melangkah pelan tapi pasti ke arah sentralistik seperti di masa Orde Baru lagi. Padahal, pendekatan politik sentralisasi inilah yang menjadi “batu asah” bagi menajamnya perlawanan di Aceh. 

Tentu tidak ada yang menolak kebijakan efisiensi. Efisiensi memang menjadi syarat pemerintahan yang bersih dan berorientasj rakyat. Namun, menerjemahkan efisiensi dengan pemangkasan anggaran belum tentu tepat. 

Efisiensi harusnya menyasar anggaran yang boros untuk pejabat dan ASN lalu dimaksimalkan bagi program-program yang dapat diukur berguna bagi membantu kesulitan rakyat, mendidik rakyat, membangkitkan ekonomi rakyat dan membangun daerah. 

Semua anggaran-anggaran yang terbukti hanya memanjakan pejabat dan ASN apalagi yang terbukti mubasir dipindahkan untuk mendukung program pro rakyat. Tapi, bila efisiensi itu diterjemahkan dengan memangkas APBA maka itu arogansi sentralistik sebab APBD itu ditetapkan dengan UU. Khusus untuk Aceh ada UU yang terkait secara khusus dengan Dana Otsus dan Dana Bagi Hasil Migas misalnya. 

Pusat Pemerintahan Indonesia memang belum pindah. Presiden RI dan jajaran kementerian dan kelembagaan, juga DPR RI dan MPR RI serta lainnya masih berada di Jakarta. Saat ini sampai 2028 terkait IKN masih dalam status pembangunan. 

Namun, kesan sindrom Batavia seperti mulai hidup kembali, walau ditutupi dalam imajinasi politik populisme. Tapi, tabuhan gendang sentralisasi terdengar hingga ke pelosok gampong. []

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI