DIALEKSIS.COM | Jakarta - Di tengah hujan deras yang mengguyur Ibu Kota, ribuan dosen dan tenaga kependidikan (Tendik) dari 35 Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN - BLU) se-Indonesia berkumpul di depan Istana Negara hari ini. Mereka bersikeras bertemu Presiden Prabowo Subianto untuk menyuarakan aspirasi tentang nasib panjang ketidakpastian yang dialami sejak proses penegerian institusi mereka pada 2010-2014. Dengan semangat membara, para pendidik bergelar doktor hingga profesor ini menuntut keadilan atas hak-hak yang dinilai terabaikan selama lebih dari satu dekade.
Pemerintah Indonesia dahulu mencanangkan penegerian 35 perguruan tinggi dari Aceh hingga Papua sebagai langkah afirmatif untuk pemerataan akses pendidikan tinggi berkualitas. Namun, menurut Dr. Uswatun Hasanah, M.Si., Koordinator Presidium Forum ASN PPPK Universitas Teuku Umar, kebijakan tersebut justru melahirkan masalah sistemik bagi para pendidik.
“Kami adalah pendiri institusi ini, tetapi justru dikontrak di rumah sendiri. Aset kampus diambil alih negara, sementara SDM-nya terkatung-katung,” tegasnya dalam orasi yang disambut sorak massa.
Para dosen dan Tendik yang sebelumnya mengabdi di perguruan tinggi tersebut diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan status kontrak. Kondisi ini dinilai merugikan karena minimnya jaminan kepastian kerja, stagnasi karir, hingga penghapusan hak tugas belajar.
“PPPK bukan solusi, melainkan bentuk penindasan HAM. Kami tidak punya jenjang karir, masa kerja tidak diakui, bahkan pangkat kami turun atau mandek. Ini ironis! Negara butuh akal, tetapi mengabaikan para pengasahnya,” ujar Uswatun.
Aksi damai yang diikuti ribuan pendidik ini menekankan tuntutan utama: penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk mengalihkan status PPPK menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) selambat-lambatnya Juli 2025. Menurut forum aksi, status PPPK telah menciptakan ketidakpastian yang mengganggu stabilitas hidup dan profesionalisme tenaga pendidik.
“Kami sudah 15 tahun terombang-ambing. Jika pemerintah serius memajukan pendidikan, bagaimana mungkin nasib para penggeraknya tidak dipastikan?” tanya salah satu profesor dari Papua yang enggan disebutkan namanya.
Meski hujan tak kunjung reda, aksi ini berlangsung tertib dengan peserta mengenakan jas almamater dan membawa poster bertuliskan tuntutan. Beberapa dosen bahkan membawa dokumen akademik sebagai simbol pengabdian yang ingin diakui negara.
“Ilmu kami mungkin tak bernilai di mata birokrasi, tetapi bagi masyarakat, kampus ini adalah harapan. Kami tidak akan pulang sebelum aspirasi ini didengar langsung oleh Presiden,” tegas Uswatun.
Hingga berita ini diturunkan, perwakilan aksi masih menunggu konfirmasi dari pihak Istana terkait pertemuan dengan Presiden Prabowo. Namun, para pengunjuk rasa bersikukuh akan tetap bertahan atau bahkan menggelar aksi eskalasi jika tuntutan tidak ditanggapi.