Kasus Sukmawati, SETARA Institute Anggap Pemidanaan adalah Opsi Terakhir
Font: Ukuran: - +
Ketua SETARA Institute Hendardi. Foto: detak.co
DIALEKSIS.COM, Jakarta - Ketua SETARA Institute Hendardi menilai bahwa tuduhan kasus-kasus penodaan agama, sebagaimana diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965 sebagai genus Pasal 156a KUHP musti dilakukan secara bertahap dengan peringatan dan teguran.
"Pilihan pemidanaan adalah opsi terakhir yang bisa ditempuh setelah proses klarifikasi itu dilakukan dan peringatan diabaikan," ujar Hendardi, Rabu (4/4).Hal itu disampaikan terkait dengan kontroversi puisi yang dibacakan oleh Sukmawati Soekarnoputri saat hadir dalam acara Indonesia Fashion Week di JCC beberapa waktu lalu.
Menurut Hendardi, pernyataan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama berupa niat jahat atau means rea dan konteks dimana Sukmawati menyampaikan puisi itu bisa saja menjadi argumen hukum bahwa puisi itu bukanlah bentuk penodaan agama. Melainkan bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warga.Namun, karena rumusan delik penodaan agama yang absurd tolak ukurnya, maka pihak lain yang tidak sependapat kemudian mempersoalkannya dengan dalil penodaan agama.
"Meskipun dalam disiplin HAM tidak dikenal istilah penodaan agama," jelas Hendardi.Jika membaca substansi puisi Sukmawati secara jernih, sambung dia, sebenarnya tidak ada substansi yang benar-benar bermasalah dari sisi SARA. Puisi Sukmawati yang sangat verbalis itu merupakan ekspresi seni yang memiliki derajat kebenaran faktual memadai.
"Karena justifikasi faktualnya sebenarnya memang ada," ucap Hendardi.Dalam situasi sosial yang terbelah, isu semacam ini menjadi pemantik yang efektif untuk kembali membelah masyarakat. Apalagi di tengah kontestasi politik Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019. "Politisasi dipastikan akan menguat," singkat dia.
Agar tidak menguras energi publik dalam kontroversi ini, klarifikasi yang dilakukan keluarga Soekarno diharapkan bisa meredakan situasi. Jika diperlukan Sukmawati juga bisa memberikan penjelasan.Sementara, atas pengaduan yang sudah disampaikan, secara prosedural biarkan polisi bekerja memproses laporan yang sudah masuk tanpa perlu tekanan yang sarat motif politiknya.
"Pelaporan Sukmawati juga mempertegas momentum bahwa kita harus segera mereformasi hukum penodaan agama dalam sistem hukum Indonesia. Sehingga ada batasan jelas ihwal penodaan agama yang selama ini sering mengkriminalisasi kebebasan ekspresi warga," tutup Hendardi. (*Detak.co)