Usai Ketok Palu MA, Pengamat Desak Jokowi Rilis Perpres Batalkan Kenaikan Iuran BPJS
Font: Ukuran: - +
Presiden Joko Widodo. [Foto: BPMI Setpres/Kris]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sejumlah pengamat mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merilis peraturan presiden (perpres) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan uji materi Peraturan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menegaskan perpres baru itu harus rampung bulan ini juga. Dengan begitu, iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan oleh masyarakat mulai bulan depan sudah kembali seperti semula.
"Jadi, nanti perpres baru yang akan menjadi acuan BPJS Kesehatan. Iuran BPJS tidak bisa berubah kalau pemerintah belum mengeluarkan perpres baru," ungkapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (10/3/2020).
Timboel juga mengingatkan bahwa direksi BPJS Kesehatan tidak bisa lagi mengambil keputusan menarik tarif baru sebelum ada arahan langsung dari kepala negara. Sebagaimana diketahui, tarif baru BPJS berlaku per 1 Januari 2020 lalu.
"Pemerintah jangan sampai berlarut-larut. Kalau perpres baru tidak segera dibuat nanti sistem pembayaran justru tidak jelas bulan depan," katanya.
Kemudian, BPJS Kesehatan juga wajib mengembalikan uang peserta yang sebelumnya telah membayar iuran hingga dua kali lipat. Ia meminta agar sistem pengembalian tak menyusahkan peserta.
"Mungkin bisa dibuat sebagai kompensasi saja. Iuran bulan depannya dikurangi kelebihan uang peserta atas kenaikan iuran sebelumnya. Jadi, tidak perlu mengambil ke outlet BPJS," terang Timboel.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis berpendapat putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS otomatis langsung berlaku. Dengan demikian, iuran peserta BPJS Kesehatan kembali seperti tahun lalu.
"Keputusan MA bersifat mengikat semua pihak, terutama presiden," tegas Margarito.
Jika pemerintah tidak menaati keputusan MA, nantinya kepala negara bisa dicap melakukan perilaku tercela karena tak mengikuti putusan hukum. Karenanya, ia menilai tak ada alasan bagi Jokowi untuk tetap mengerek tarif baru BPJS Kesehatan.
"Yang kena sanksi bukan BPJS Kesehatannya, tapi presiden. Ini kan soal aturan presiden. BPJS hanya menjalankan perintah," terang dia.
Diketahui, MA mengabulkan judicial review atas Perpes Nomor 75 Tahun 2019, khususnya Pasal 34 Ayat 1 dan 2. Judicial review ini diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Dalam perpres tersebut, pemerintah mengerek iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) mulai Januari 2020. Rinciannya, iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I melonjak dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan.
Kemudian, kelas mandiri II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu, dan kelas mandiri III naik Rp16.500 dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan.
Kenaikan iuran dilakukan demi mengatasi masalah defisit keuangan yang BPJS Kesehatan. Tercatat, defisit BPJS sebesar Rp3,3 triliun pada 2014.
Lalu, membengkak menjadi Rp5,7 triliun pada 2015, dan Rp9,7 triliun pada 2016. Defisit terus berlanjut hingga 2017 menjadi sebesar Rp13,5 triliun dan pada 2018 menjadi Rp19 triliun. Tahun lalu, defisit diperkirakan sebesar Rp32 triliun. (CNN Indonesia)