Menjadi Wartawan itu Suara Hati
Font: Ukuran: - +
Penulis : Ampuh Devayan
Berbagai tanggapan tentang keberadaan pers harus disikapi secara arif. Sebab dalam posisi serba dilematis, maka kridebilitas wartawan sebagai kaum profesi harus tetap dipertaruhkan. Sebagai pilar rakyat harus tetap menjunjung tinggi "nilai-nilai" yang berpihak pada penalaran dan suara hatinya.
Tentu saja penalaran dan suara hati itu dipengaruhi dan diwarnai oleh filsafat Negara, kebudayaan masyarakat dan oleh intraksi berbagai kekuatan dalam ideology, politik, ekonomi, social budaya juga soal kebutuhan hidup. Dalam proses pergulatan inilah, inklinasi secara naluriah wartawan adalah bersandar pada penalaran dan suara hatinya. Atas dasar itu pula wartawan menjadi independent.
Mengutip Jacob Oertama, panisepuh wartawan Indonesia, katanya "wartawan akan tetap dihadapkan pada pemilihan posisi yang dilematis: mereka harus penuh pengertian, ia memahami peranan emansipatoris baik lembaga pemerintah maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan. Ia berpartisipasi dan menjunjung. Agar partisipasinya sebagai wartawan konstruktif dan positif, ia harus tetap bersikap kritis dan untuk menumbuhkan sikap kritis yang obyektif, sikap mandiri diperlukan".
Kebajikan profesi semacam itulah yang harus kita pegang teguh dan tumbuh-kembangkan sekaligus menjadi kekuatan bagi bobot dan kredibilitas profesi kewartawan. Dan sebagai bagian dari rakyat, di tengah gelombang kebebasan saat ini, disadari atau tidak-- masyarakat sangat dipengaruhi oleh pers (informasi).
Tentu saja itu suatu yang positif karena telah membuat jendela dunia menjadi terbuka dan sangat dinamis. Sebaliknya orang yang tidak dipengaruhi media, dia sangat statis, karena kurangnya informasi yang ia peroleh. Maka, peran seorang insan pers dalam melaksanakan tugasnya tetaplah dalam koridor kebenaran tersebut, tanpa was-was dan kecut.
Itulah kepebribadian wartawan. Dan kepribadian adalah pengabdian untuk rakyat, manusia, semesta dan pertanggung-jawabannya kepada Tuhan.
Wartawan itu adalah hati nurani, dia akan menjadi nyeri ketika martabatnya terhinakan. Sebab seorang wartawan sejati dalam pergulatan hidup yang serba kemiskinan dan penderitaan pun harus tetap setia pada profesi, setia pada mision dan dedikasinya sebagai penyuara kebenaran yang dipercayai. Itulah keteguhan, gengsi dan harga diri secara sosial politik meskipun melarat dari sudut ekonomi.
Ada tugas paling esensi seorang wartawan, seperti dikatakan Prof Muslim Ibrahim (Ketua MPU Aceh) dalam satu seminar, yaitu mengemban tugas kerasulan. Katanya, wartawan itu sesungguhnya mengemban nubuwah, tugas-tugas "kerasulan", apabila dalam melakukan tugasnya mempedomani empat sifat kerasulan. Pertama, Siddiq (berkata atau menulis yang benar), kedua Tabliq (menyampaikan apa adanya), ketiga Amanah (jujur), dan keempat Fatanah (cerdas dan bijaksana).
"Apabila wartawan memiliki keempat sifat tersebut dalam menjalankan pekerjaan jusnalistiknya, maka sempurnalah 'kerasulan jumalistiknya" Jika menggunakan sifat-sifat Rasulullah tadi, pers benar-benar akan menjadi kekuatan keempat di suatu negara.
Menurut Prof Muslim, wartawan harus menulis suatu fakta dengan dilandasi idealisme dan kejujuran. Fakta tersebut disajikan apa adanya. Namun adakalanya kebenaran tersebut tidak semua dapat dikatakan. Karenanya seorang wartawan harus mencerdasi dengan bijak terhadap obyek yang dilihatnya dengan sifat Fatanah. "Jangan sampai dengan sengaja menyakitkan hati orang," imbuhnya .
Menyampaikan suatu informasi dengan hikmah merupakan cara agar masyarakat pembaca mendapatkan informasi sesuai dengan harapannya. Semuanya dengan mudah bisa dicerna. Keadaan ini juga untuk menghindari salah tafsir dari suatu informasi. Itulah pentingnya kode etik kewartawanan. kode etik jumalistik sebagai panduan "akhlak wartawan".
Kalau mau kaya jangan jadi wartawan. Sebab kehebatan seorang jurnalis bukan semata diukur dengan fisikal, melainkan pada nurani. Pilihan menjadi wartawan harus menegakkan kebenaran, kejujuran dan keterpercayaan. Dimensi truth (kebenaran) dan trust (kepercayaan) yang bisa menjunjung tinggi kenetralan dan independensi. Karena media hasil karya wartawan adalah cermin kehidupan. Di situlah kekuatan wartawan bekerja dengan batas-batas etika.
Kita tidak bisa menghindari, dinamika rakyat, di tengah gelombang informasi maha dahsyat; di tengah reaksi pro-kontra kehadiran dan banyaknya wartawan-wartawan musiman. Karenanya sebagai wartawan perlu menyadari bahwa dia adalah tradisi sejarah perjuangan, pewaris cita-cita bagi masyarakat dan keadilan. Jalan seorang wartawan adalah kreaktifias dan integritasnya adalah kecendikian, kebajikan dan nurani. Selamat Hari Pers!