DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh yang juga aktivis perempuan Aceh, Cut Asmaul Husna, menyoroti absennya nama-nama perempuan dalam daftar undangan rapat revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang digelar hari ini.
Ia menilai hal ini bukan hanya bentuk kelalaian administratif, melainkan cerminan dari masih kuatnya budaya patriarki dalam proses legislasi di Aceh.
“Ruh dalam pembentukan undang-undang dan perubahannya itu melibatkan semua unsur pemangku kepentingan, termasuk perempuan. Saat dulu UUPA dirancang, ada pelibatan perempuan,” ujar Cut Asmaul Husna kepada wartawan dialeksis.com, Senin (20/10/2025).
Diketahui, Proses pembahasan revisi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) 2025 yang akan berlangsung pada Selasa, 21 Oktober 2025 di Aula Kantor Gubernur Aceh. Dalam surat undangan yang diterima oleh media dialeksis.com, ada sebanyak 35 peserta yang diundang oleh panitia. Dari 35 peserta yang ada di daftar undangan rapat revisi UU Pemerintah Aceh tidak mencantumkan satu pun nama perempuan.
Menurut Cut Asmaul Husna, pengesampingan perempuan dari forum resmi revisi UUPA adalah langkah mundur bagi demokrasi partisipatif di Aceh.
Ia menegaskan, tidak ada satu pun regulasi yang dapat disebut adil dan berkeadilan jika perspektif gender diabaikan.
“Ketika daftar undangan rapat dari nomor 18 sampai 35 tidak mencantumkan satu pun nama perempuan, itu bukan sekadar kelalaian teknis. Itu menunjukkan bahwa partisipasi perempuan masih dianggap tidak penting dalam proses pengambilan kebijakan di Aceh,” tegasnya.
Cut Asmaul Husna yang juga pernah menjabat Sekjen Solidaritas Mahasiswa Islam Peduli Aceh menilai, sikap eksklusif dalam penyusunan revisi UUPA tersebut menyalahi semangat keistimewaan Aceh itu sendiri.
"Aceh disebut memiliki kekhususan dalam hal syariat Islam dan adat, tetapi jika pelibatan perempuan justru dikesampingkan, maka keistimewaan itu kehilangan maknanya,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam ajaran Islam dan adat Aceh yang bersendikan hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut, perempuan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan sosial dan moral masyarakat.
Karenanya, ketidakhadiran perempuan dalam ruang-ruang kebijakan publik bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh.
“Regulasi tanpa perspektif gender itu cacat sejak lahir. Bagaimana mungkin kita bicara tentang pembangunan, kesejahteraan, dan masa depan Aceh tanpa melibatkan 50 persen dari populasi kita?” ucapnya dengan nada kritis.
Meski kecewa dengan daftar undangan yang beredar, Cut Asmaul Husna masih berharap akan ada perubahan dalam waktu dekat.
“Kita tunggu kabar sampai besok. Semoga ada perubahan dengan adanya masukan para pihak untuk pelibatan perempuan, meskipun belum tertulis di undangan,” tutupnya.