DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Beredar kabar bahwa Pemerintah Aceh akan kembali mengalokasikan anggaran dari APBA 2026 untuk lembaga vertikal menuai kritikan dari berbagai kalangan.
Yulindawati, aktivis perempuan Aceh menyebut bahwa rencana penganggaran dana hibah untuk lembaga vertikal merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Aceh yang sedang tercekik oleh berbagai tekanan ekonomi.
“Aceh dalam kondisi darurat ekonomi. Kita bertahun-tahun menduduki posisi sebagai daerah termiskin di Sumatera. Di tengah kondisi seperti ini, pemerintah justru hendak kembali menggelontorkan dana ke lembaga vertikal yang sejatinya sudah punya anggaran dari pusat. Ini zalim!” tegas Yulindawati kepada Dialeksis.com, Minggu, 3 Agustus 2025.
Yulinda menilai, dana miliaran rupiah yang dialokasikan untuk lembaga vertikal setiap tahun sejatinya bisa digunakan untuk program-program produktif yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat bawah seperti pembukaan lapangan kerja, penguatan UMKM, pemberdayaan perempuan, hingga akses pendidikan dan kesehatan.
“Lembaga vertikal seperti kejaksaan, kepolisian, bahkan badan intelijen itu punya alokasi dana sendiri dari APBN. Kenapa harus dikucuri lagi dari APBA? Bukankah itu menyimpang dari semangat otonomi khusus?” kritik Yulinda.
Berdasarkan data yang diperoleh media dialeksis.com, Minggu, 3 Agustus 2025, berikut adalah sembilan proyek lembaga vertikal yang dibiayai melalui APBA 2025:
1. Lanjutan Pembangunan Aula Kodam - Rp4,75 miliar
2. Lanjutan Pembangunan Gedung Diklat Kejati - Rp9,6 miliar
3. Lanjutan Pembangunan Gedung BINDA - Rp825 juta
4. Lanjutan Pembangunan Gedung Propam Polda - Rp6,68 miliar
5. Lanjutan Pembangunan Rumah Dinas Pengadilan Tinggi - Rp900 juta
6. Lanjutan Pembangunan Rumah Dinas Wakajati Aceh - Rp1,35 miliar
7. Rehabilitasi Gedung Intelkam Polda Aceh - Rp6,86 miliar
8. Rehabilitasi Pagar Kantor Bais Nesu Banda Aceh - Rp640 juta
9. Rehabilitasi Ruangan Forkopimda (Asdatun Aceh) - Rp560 juta.
Yulindawati mendesak agar Pemerintah Aceh segera mengevaluasi kebijakan ini. Menurutnya, sudah saatnya anggaran daerah difokuskan pada pembangunan ekonomi yang berdampak langsung terhadap masyarakat.
“Buka lapangan kerja! Berikan akses modal dan pelatihan bagi pelaku usaha kecil. Perbaiki infrastruktur pasar rakyat. Bantu anak-anak desa yang tak bisa sekolah karena miskin. Itu yang semestinya menjadi prioritas,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) memberi ruang yang cukup besar bagi Aceh untuk mengatur keuangan daerahnya secara mandiri dan berpihak pada masyarakat.
Tapi, kata Yulindawati, kewenangan ini justru sering disalahgunakan untuk membangun citra dan relasi politik dengan lembaga-lembaga pusat.
Lebih jauh, Yulindawati mengajak elemen masyarakat sipil, mahasiswa, dan tokoh adat untuk bersama-sama mengawal kebijakan anggaran di Aceh.
“Kita tidak anti pada lembaga vertikal. Tapi jangan jadikan APBA sebagai ATM mereka. Pemerintah harus ingat, uang itu bukan milik elit, tapi milik rakyat Aceh,” pungkasnya.