Selasa, 08 Juli 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Diskresi Bukan Jalan Pintas? Klarifikasi atas Tuduhan Adu Domba terhadap Akademisi Aceh

Diskresi Bukan Jalan Pintas? Klarifikasi atas Tuduhan Adu Domba terhadap Akademisi Aceh

Senin, 07 Juli 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Zulfikar Mirza, peneliti Analisa Demokrasi Indonesia (ADI) sekaligus pemerhati politik. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pernyataan Ketua Harian AMPG Aceh, Aidil Fitri, yang menyebut dua akademisi Aceh Kemal Pasya dan Zainal Abidin, tidak memahami AD/ART Partai Golkar, perlu dikaji ulang secara objektif. Tuduhan bahwa mereka “memanas-manasi” situasi dan “membuat pernyataan menyesatkan” justru berpotensi mengaburkan esensi diskusi publik yang sehat dan berbasis konstitusi partai.

Menurut Zulfikar Mirza, peneliti Analisa Demokrasi Indonesia (ADI) sekaligus pemerhati politik, apa yang dipahaminya dari yang pernah disampaikan akademisi terkait diskresi sudah benar karena ada rujukan ADART sebagai landasannya.

“Jadi, itu sudah benar ya, jelas rujukannya AD/ART Golkar itu sendiri,” ujar Zulfikar Mirza, Senin (7/7/2025).

Pernyataan ini menegaskan bahwa kritik yang dilontarkan oleh Kemal dan Zainal bukanlah bentuk provokasi, melainkan bagian dari dialektika demokrasi yang sah.

Sebagaimana dijelaskan dalam artikel opini Teuku Kemal Fasya di Dialeksis.com, diskresi Ketua Umum Golkar memang diatur dalam AD/ART, namun penggunaannya tidak bersifat mutlak. Diskresi hanya sah dalam tiga kondisi: menjaga soliditas partai, mengatasi kebuntuan organisasi, dan menetapkan kebijakan strategis. Tidak ada pasal yang membenarkan diskresi untuk menunjuk Ketua DPD secara langsung, apalagi dari kalangan non-kader.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Zainal Abidin, juga menegaskan bahwa diskresi dalam organisasi politik harus tunduk pada prinsip legalitas. Dalam analisis hukumnya di Dialeksis.com, pakar hukum itu menegaskan ia menyebut bahwa jabatan Ketua DPD I Golkar Aceh harus diperoleh melalui Musyawarah Daerah (Musda), bukan melalui penunjukan sepihak.

Dialektika, Bukan Adu Domba

“Kalau dikatakan buat adu domba menurut saya jelas itu bagian dari dialektika,” tegas Zulfikar Mirza.

Kritik terhadap mekanisme diskresi bukanlah bentuk penghasutan, melainkan refleksi dari kekhawatiran publik terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan.

Ia juga menyatakan, “Jika ada pihak yang terusik artinya ada kepentingannya terganggu, takut diberjalan misi mereka memuluskan sesuatu yang bertentangan dengan ADART terkait diskresi.”

Disampaikan, Golkar Aceh tidak kekurangan kader potensial. Memaksakan figur eksternal tanpa proses kaderisasi dan Musda justru merusak marwah partai sebagai institusi demokrasi. Jika seseorang ingin berkontribusi, ia seharusnya bergabung sebagai anggota, mengabdi dalam struktur, dan bertarung secara fair dalam Musda.

Diingatkan Mirza, alih-alih membungkam kritik, Partai Golkar seharusnya menjadikan perdebatan ini sebagai momentum untuk memperkuat transparansi dan konsistensi terhadap AD/ART.

“Demokrasi internal partai tidak akan tumbuh jika ruang diskusi dibatasi oleh tuduhan yang tidak berdasar,” tutup Mirza. [ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI