DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Persoalan4 pulau yang terletak diantara Singkil, Aceh dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara kembali memicu keributan.
Risman Rachman, pemerhati politik dan pemerintahan, mengungkap banyak kelemahan, yang menjadi sumber masalah sehingga posisi 4 pulau masih terus disengketakan.
Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar dan Pulau Lipan.
Sebagaimana diketahui, melalui Kemendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tanggal 25 April 2025 empat pulau di atas masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Sebelumnya, empat pulau tersebut juga sudah ditetapkan melalui Kepmendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022 tanggal 9 November 2022 dan Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tanggal 14 Februari 2022.
Sebagaimana sudah dilakukan sejak 15 November 2017 sebagai periode protes tahap I serta dilanjutkan pada 7 Februari 2023 sebagai periode protes tahap II, kini pun protes tahap III kembali dilanjutkan.
“Sayangnya, protes pada periode tahap III ini juga masih mengulangi pola protes sebelumnya,” ujar Risman.
Disebut pola protes yang sama karena semua pihak, baik itu Aceh, Sumut maupun Pusat (Ditjen Bina Adwil) masih mengulangi apa yang sudah pernah disampaikan sebelum-sebelumnya.
“Itukan tidak mendorong semua pihak untuk tahu apa yang menjadi kelemahan bersama, akhirnya tidak memicu perbaikan. Jika ini yang berlaku, ke depan juga akan terjadi lagi hal yang sama,” kata Risman.
Diungkap oleh Risman, sumber kelemahan paling vatal justru ada di regulasi nasional, yang tidak punya jalan keluar terhadap pulau yang disengketakan.
“SOP penyesuain cakupan wilayah administrasi pemerintahan pulau di kabupaten/kota yang dimiliki Ditjen Bina Adwil Kemendagri baru dibuat tahun 2023 dan belum mengakomodir untuk pulau bersengketa,” tutur Risman.
Akibatnya, menurut Risman, penentuannya jadi tidak objektif dan bahkan berpeluang mengabaikan dokumen dan hasil survey yang ada. “Itulah yang dialami oleh Pemerintah Aceh,” tambahnya.
Padahal, dari sisi data/dokumen Aceh lebih kuat. Posisi Sumut hanya berpegang pada dokumen verifikasi Timnas Pembakuan Nama Rupabumi 2008, Surat Mendagri 4 Januari 2018, dan Kemendagri Nomor 050-145 Tahun 2022.
“Pemerintah Aceh juga ada kelemahan, tapi itu bisa dijelaskan secara argumentatif disertai perbaikan kekeliruan pada 2018,” sebutnya lagi.
Kelemahan yang dimaksud adalah hasil verifikasi Timnas Pembakuan Nama Rupabumi 2008 di Banda Aceh. Tapi, hal ini terjadi karena Aceh dilarang memasukkan 4 pulau dengan alasan sudah duluan dimasukkan oleh Sumut.
“Kelemahan vatal adalah surat gubernur Aceh tahun 2009. Tapi, ini sudah diperbaiki pada 2018, tapi sayangnya diabaikan sebagai pertimbangan,” kata Risman lagi.
Kelemahan Aceh itu juga sudah ditebus dengan kunjungan validasi bersama ke 4 pulau Juni 2022 dan pertemuan Bali yang difasilitasi Kemenko Polkam pada Juli 2022.
“Mayoritas berpegang pada SKB 1992, yaitu peta kesepakatan gubernur Ibrahim Hasan dan gubernur Raja Inal Siregar, sebagai pegangan paling kuat. Sayangnya, Kemendagri juga masih mengabaikan, “ jelas Risman.
Kelemahan lain yang diungkap oleh Risman adalah baik UU Pembentukan Singkil maupun UU Pembentukan Tapanuli Tengah tidak tergambarkan dengan jelas cakupan wilayahnya, termasuk 4 pulau tersebut.
“Itu membuka kesempatan bagi salah satu pihak untuk mendahului mengklaim sebagai miliknya, dan itulah yang dilakukan Sumut pada Mei 2008 dan November 2018,” sebut Risman.
Kelemahan Aceh disebut Risman juga ada. “Kita terbukti kurang peduli dengan data yang ada dan anggap enteng sehingga terjadi kekeliaruan koordinat di 2009,” tegas Risman.
Risman juga mengingatkan untuk tidak mengulangi kelemahan advokasi seperti yang sudah-sudah, yaitu condong mencari kambing hitam.
“Begitu ada masalah, yang dicari langsung siapa yang salah. Itu terus diulang-ulang. Padahal, pemerintahan itu harus terus berjalan, dan sangat mungkin yang awalnya suka menohok sekarang justru dibebankan hal yang sama, akhirnya orang jadi malas dan malah mengulangi hal yang sama, balas menohok pula,” tutup RIsman.
Risman menyarakankan agar semua pihak mau menyadari kelemahannya dan berani untuk sama-sama memperbaiki.
Pusat melalui Ditjen Bina Adwil khsuusnya bidang toponimi dan batas daerah harus membuat SOP yang bisa menjadi solusi jika ada sengketa pulau.
Prosedur penyusunan Kemendagri terkait kode, batas wilayah dan pulau juga perlu diperbaiki dan diperkuat untuk mencegah terulang sengketa pulau.
“Dan, selama belum ada panduan yang baku maka Kemendagri harus berani memihak kepada daerah yang secara data/dokumen dan bukti lapangan lebih kuat. Jadi, Kemendagri harus berani merevisi Kepmen yang ada agar 4 pulau itu kembali menjadi milik Aceh,” tutup Risman. [arn]